Humanisasi UU ITE: Menjaga Kebebasan Berpendapat di Era Society 5.0
Salah satu pemicu perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE adalah adanya sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), di antaranya Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009 yang menyoroti pasal tentang tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik di ranah informasi elektronik.
Walaupun UU Nomor 19 Tahun 2016 telah merevisi UU ITE sebelumnya, kebebasan demokrasi, khususnya dalam menyampaikan pendapat di media sosial, masih kerap terhambat. Menurut Dittipidsiber, pada tahun 2020 tercatat 1.743 kasus pencemaran nama baik yang diproses hukum. Data tersebut menegaskan bahwa kebebasan berekspresi di ruang digital masih berada di bawah bayang-bayang UU ITE.
Oleh karena itu, perlu adanya humanisasi substansi UU ITE agar regulasi ini tidak menjadi alat pembungkaman kebebasan berpendapat, melainkan menjadi pelindung hak-hak demokratis masyarakat Indonesia di era Society 5.0.
Kebebasan Berpendapat dalam Konstitusi Indonesia
Indonesia sebagai negara demokrasi menjamin hak kebebasan berpendapat warganya. Hal ini tertuang dalam:
-
Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
-
Pasal 28F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi adalah hak asasi setiap individu. Namun, kebebasan ini harus dilindungi oleh hukum yang adil, termasuk di ranah digital.
Era Society 5.0 dan Tantangan Hukum Digital
Perkembangan teknologi yang pesat melahirkan peradaban baru yang disebut era Society 5.0. Konsep ini menggambarkan masyarakat yang berpusat pada manusia namun berbasis teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Big Data, dan robotika.
Perubahan ini menuntut adaptasi hukum agar dapat mengatur perilaku masyarakat yang semakin erat dengan teknologi digital. UU ITE hadir sebagai bentuk “Law as a Tool of Social Engineering”, yakni hukum yang berfungsi menata masyarakat agar mampu hidup tertib di tengah kemajuan teknologi.
Namun, perbedaan kecepatan antara perkembangan teknologi (dinamis) dan perkembangan hukum (cenderung statis) menimbulkan kesenjangan atau social lag. Hal inilah yang membuat UU ITE sering kali dianggap belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern secara tepat.
Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
UU ITE mengatur larangan penghinaan dan pencemaran nama baik di dunia maya melalui:
-
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE: Larangan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
-
Pasal 45 Ayat (3) UU ITE: Ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda hingga Rp 750 juta bagi pelanggar pasal tersebut.
Rumusannya bersifat delik aduan, yang berarti proses hukum hanya dapat berjalan jika ada pihak yang mengadu. Namun, penerapan pasal ini kerap menuai kontroversi karena batas antara kritik dan penghinaan tidak selalu jelas, terutama di media sosial.
Masalah Batasan Kritik dan Penghinaan
Di negara demokrasi, kritik terhadap pemerintah maupun individu adalah hal yang wajar dan dilindungi hukum. Namun, dalam praktiknya, pasal pencemaran nama baik di UU ITE sering digunakan sebagai “pasal karet” yang mengaburkan perbedaan antara kritik dan penghinaan.
Hal ini menimbulkan ketakutan di masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara terbuka di media sosial karena khawatir dilaporkan atas dasar pencemaran nama baik. Padahal, demokrasi seharusnya membuka ruang diskusi dan perbedaan pendapat.
Pentingnya Humanisasi UU ITE
Humanisasi dalam konteks revisi UU ITE berarti memberikan nilai kemanusiaan dalam merumuskan pasal-pasal hukum, sehingga tidak lagi menjadi alat represif yang membatasi kebebasan berekspresi.
Prinsip humanisasi meliputi:
-
Memperjelas indikator delik aduan agar tidak bergantung pada subjektivitas pihak yang merasa tersinggung.
-
Membedakan kritik dengan penghinaan, sehingga pasal pencemaran nama baik tidak lagi digunakan untuk membungkam kritik konstruktif.
-
Menyeimbangkan kebebasan berpendapat dengan norma moral dan etika masyarakat, sesuai nilai-nilai demokrasi Indonesia.
Dengan pendekatan ini, UU ITE akan kembali ke tujuan awalnya, yakni melindungi hak warga negara tanpa mengurangi kebebasan berpendapat.
Perspektif Hukum Internasional
Prinsip kebebasan berekspresi juga dijamin oleh Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang berbunyi:
“Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive, and impart information and ideas through any media regardless of frontiers.”
Namun, Pasal 29 UDHR menegaskan bahwa kebebasan tersebut tetap memiliki batasan yang ditentukan oleh hukum untuk menjaga moralitas, ketertiban umum, serta hak orang lain.
Humanisasi pasal pencemaran nama baik dalam revisi UU ITE adalah langkah penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap hak serta kehormatan individu di era Society 5.0.
Revisi yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan humanisme akan menghindarkan UU ITE dari penyalahgunaan sebagai alat pembungkam kritik, sekaligus mendukung terciptanya masyarakat digital yang sehat, beretika, dan inklusif.
