Education, Approach, dan Guidance Sebagai Upaya Perlindungan Hukum




        Pasca kemerdekaan pemimpin Dwitunggal secara gamblang mendeklarasikan Indonesia sebagai sebuah negara yang demokratis. Sebagaimana termaktub dalam kalimat akhir teks Proklamasi 17 Agustus 1945 “atas nama bangsa Indonesia”, ini berarti bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang diperuntukan bagi seluruh rakyat Indonesia. Esensi sebuah negara demokrasi yaitu memposisikan human right sebagai palinglima tertinggidalam menjaga stabilitas keidupan bangsa.

        Negara Indoensia sebagai rule of law memiliki tiga unsur utama dalam mengendalikan hukum, yaitu (1) unsur Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum/kedaulatan hukum. (2) Equality before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara. (3) Constitusion Based on Individual Rights artinya konstitusi itu bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi (Diecy, 2007: 251). Sehingga negara menempatkan hukum pada tempat tertinggi, yang meliputi perlindungan terhadap hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, setiap tindakan pemerintah didasarkan pada perturan perundang- undangan, dan adanyaperadilan yang berdiri sendiri. Hukum dijadikan sebagai fair play dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya (Erowati, 2018: 51).

        Realitas perlindungan HAM telah diteguhkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa, “Membentuk sebuah Pemerintahan Negara Indonesia dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Hal ini dimaksudkan negara wajib menjunjung perlindungan HAM. Hak Asasi Manusia dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan harkat kemanusiaannya, sebab konsepsi hak asasi manusia terbukti mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Negara dituntut mengeluarkan segala peraturan perundangan dan instrumen hukum lain agar pelaksanaan hak asasi manusia dapat ditegakan secara demokratis (Roasana, 2016: 38).

        Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara khusus ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dasar hukum tersebut semakin diperinci dalam Pasal 28I ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana memberikan hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, diberikan hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif serta mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif tersebut. Berdasarkan pasal tersebut,jelas bahwa negara menjamin perlindungan hukum terhadap hak-hak setiap warga negara tak terkecuali hak untuk mendapatkan perlakuan sama dihadapan hukum. Perlindungan ini dilakukan agar hak-hak lain tidak ikut diciderai.

        Berdasarkan amanat UUD 1945, Indonesia mengakui adanya prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpaterkecuali. Prinsip ini menghapuskan diskriminasi, sehingga setiap warga negara memiliki hak yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan maupun golongan. Moempoeni Martojo mengatakan bahwa, “istilah warga negara mengandung pengertian baik perempuan maupun laki-laki”. Sejatinya yang dikemukakan moempoeni benar adanya, sebab setiap negara di dunia memiliki warga negara yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Hal ini mengandung arti bahwa pengakuan persamaan hak warga negara antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan, seluruhnya sama dihadapan hukum dan haknya dijamin oleh hukum (Kania, 2015: 717).

        Instrumen hukum Indonesia mengakui danya prinsip persamaan hak antara laki- laki dan perempuan. Namun, dalam implementasi penyelenggaraan negara, diskriminasi dan ketidakadilan didominasi kaum perempuan. Kaum perempuan selalu termarjinalkan baik dalam bisang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun bidang politik. Berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2020 terdapat 299.911 kasus terhadap perempuan diIndonesia. Hal ini menjadi tamparan keras bagi negara, perlu dipertanyakan bagaimana implementasi perlindungan hukum di Indonesia, terkhusus pelindungan hukum terhadap perempuan. Penyebab munculnya diskriminasi perempuan dikarenakan munculnya stereotype bahwa perempuan adalah manusia yang lemah. Perlunya sebuah trobosan baru agar dapat ikut serta melindungi hak-hak perempuan.

Kasus Pengkriminalisasian Perempuan Korban Perkosaan Sebagai Bentuk Perlakuan                     Diskriminatif.

        Dilansir dari BBC News Indonesia, kasus aborsi korban perkosaan menimpa seorang anak gadis dan perempuanyang akhirnya di hukum penjara. Kasus pertama menimpa seorang gadis remaja berusia 15 tahun yang baru saja putus sekolah karena ketiadaan biaya. Gadis tersebut diperkosa oleh tetangga kampungnya ketika bekerja sebagaipekerja rumah tangga. Ia tidak berani cerita kepada siapapun karena diselimuti rasa takut. Suatu hari perut gadis itu terasa sakit yang begitu hebat, kemudian keluar sebuah gumpalan janin dari rahimnya. Lalu gadis itu membuangnya ke tempat sampah. Dua hari kemudian petugas kebersihan menemukan bungkusan yang berisi janin dan melaporkannya kepolisi. Beberapa hari kemudian gadis itu ditangkap oleh polisi. Ia ditetapkan sebagai tersangka pelaku aborsi dan masuk tahanan dewasa saat usianya masih 15 tahun. Kasus kedua terjadi di kota yang sama dengan kasus serupa menimpa seorang perempuan bernama Matahari atas kasus aborsi hasil perkosaan yang dilakukan oleh kakak kandungnya sendiri. Pada 19 Juli 2018, Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada permpuan tersebut (BBC News, 2018).

        Hak untuk mendapatkan jaminan reproduksi tidak diperhatikan sehingga membuat perempuan tersebut melakukan aborsi ilegal. Negara yang harusnya melindungi dengan memberikan hak atas pemberian bimbingan dan pengembalian psikologis korban perkosaan malah mengkriminalisasi korban. Hal ini menciderai hak asasi manusia dengan memberikan perlakuan tidak adil terhadap perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi. Sehingga kedua kasus tersebut mendapat kecaman keras dari berbagai pihak karena dianggap mendiskriminasi perempuan korban perkosaan.


Legal Standing Aborsi Bagi Perempuan Korban Perkosaan.

        Masalah aborsi ini menjadi kontroversial sejak dahulu. Adanya pihak yang setuju dan tidak setuju dilegalkannya aborsi bagi korban perkosaan meskipun memiliki tujuan baik untuk mengurangi penderitaan korban. Beberapa filsuf Yunani kuno melegalkan adanya aborsi. Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa janin belum bisa dianggap sebagai manusia seutuhnya, sehingga pengguguran janin tidak dapat dianggap sebagai perbuatan kriminal.Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa aborsi merupakan sebuah proses untuk mengendalikan kelahiran, sejalan dengan konsep kota ideal yang mana ketika mengalami over populations maka aborsi dapat dilakukan sebagai alternatif terbaik (Manohara, 2018: 2).

        Dalam perspektif normatif, KUHP melarang peristiwa aborsi. Berdasarkan pasal 299, 346, 348, dan 349 KUHP, negara melarang abortus termasuk menstrual regulations dan sanksi hukuman yang berat. Hukuman tersebut tidak hanya menjerat seorang wanita yang melakukan aborsi tetapi juga semua orang yang terlibat seperti dokter, dukun bayi, tukang obat dan orang yang menyuruh ataupun yang ikut serta membantu. Secara filosofis, sejatinya pasal dalam KUHP yang melarang aborsi terdapat nilai etika, moral dan agama. Aborsi itu sendiri dilarang sebab menghilangkan nyawa janin, bahkan mengancam nyawa ibu yang bersangkutan. Filsuf Yunani Kuno Phytagoras dan Hippocrates juga sependapat bahwa aborsi sangat berbahaya, karena mengandung racun yang dapat membunuh janin dan membahayakan nyawa ibunya (Manohara, 2018: 3).

        Berdasarkan Pasal 75 ayat (2) Peraturan Perundang-Undangan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa adanya pengecualian larangan aborsi. Pengecualian larangan aborsi dapat dilakukan dalam duakondisi. Pertama, indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Kedua, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Pasal 75 ayat (3) memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa pengecualian aborsi dapat dilakukan setelah melalui konseling pra tindakan dan diakhiri dengan koseling pasca tindakan (Kusumasari, 2011: 2). Perlihal aborsi memang masih tabu untuk dibicarakan di Indonesia, meskipun ada perangkat hukum yang melegalkan aborsi dengan aturan tertentu. Namun dalam putusan Mahkamah Agung aborsi merupakan hal yang ilegal dan dapat dikriminalisasi baik pada perempuan pelaku aborsi maupun tenaga medis yang membantu proses aborsi.

        Maidina Rahmawati, Pegiat ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) mengatakan bahwa seharusnya tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada anak korban perkosaan. Meskipun ketentuan KUHP melarang aborsi sebagaimana dijelaskan diatas, namun ketentuan tersebut dapat dikesampingkan dengan adanya pengaturan pengecualian larangan aborsi dalam Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat legi generalis atau sebuah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum bersifat umum (lex generalis). Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu: Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; Ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lexgeneralis (undang-undang dengan undang-undang); Ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Maka, dalam hal ini berarti ketentuan pengecualian larangan aborsi dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan bersifat khusus yang mana mengenyampingkan ketentuan larangan aborsi dalam KUHP yang bersifat umum (Cendana, 2012: 3).


Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Perkosaan.

        Realita pengkriminalisasian terhadap perempuan sangatlah tidak dibenarkan karena menimbulkan banyak pertanyaan mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat 1 menyatakan secara gamblang bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dankepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (Runtu, 2012: 23).
        Hak asasi manusia memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang mana dalam rangka perwujudanhak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan (servitude) atau perbudakan (slavery). Hak asasi ini bersifat universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membedakan latar belakang. Perlindungan hukum terhadap korban aborsi seharunya mencakup perlindungan bersifat abstrak maupun konkret Perlindungan bersifat abstrak sejatinya merupakan sebuah bentuk perlindungan yang hanya dirasakan secara emosional (psikis). Sedangkan perlindungan bersifat konkret sejatinya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata (Nasution, 2008: 25).

        Hal ini juga menciderai hak-hak reproduksi korban perkosaan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 72 UU Kesehatan. Korban perkosaan kehilangan hak-hak produksinya serta kehilangan kesehatan produksinya secara fisik,mental dan sosial. Demi memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak reproduksi korban perkosaan terlebih korbannya adalah seorang gadis. Hal ini merupakan bentuk hak asasi manusia, maka sangatlah pantas apabila perempuan korban perkosaan melakukan aborsi secara legal dan bersyarat (Afifah, 2013: 99)

        Peran negara sangat dibutuhkan dalam melindungi perempuan korban aborsi. Ketika negara tak lagi memperhatikan perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan niscaya banyak perempuan yang melakukan aborsi secara ilegal. Ironis ketika hal ini dimanfaatkan oleh penegak hukum untuk mencari keuntungan tersendiri dengan menjerat perempuan korban perkosaan dengan pasal pembunuhan. Secara historis, hukum Indonesia lebih banyak menempatkan tindakan aborsi korban perkosaan menjadi sebuah kejahatan, tidak lagi memandang persoalan kesehatan reproduksi perempuan atau otoritas tubuh perempuan. Data menunjukkan setidaknya setiap tahunnya kurang lebih ada 4.000 korban perkosaan, sehingga tindakan aborsi ilegal yang dilakukan korban perkosaan adalah sebuah keniscayaan (Afifah, 2013)


Education, Approach, Dan Guidance Sebagai Trobosan Baru Upaya Perlindungan Hukum dari Tindakan Diskriminatif Penegak Hukum.

        Realitas kriminalisasi perempuan korban perkosaan adalah sebuah gambaran nyata minimnya penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Hukum yang tidak efekektif akan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang. Berdasarkan Teori Efektivitas Hukum yang dipopulerkan oleh Soerjono Soekanto terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum, salah satunya yaitu faktor penegak hukum. Penegakan hukum ini berkaitan erat dengan pihak- pihak yang menerapkan hukum (law enforcement). Bagian dari law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan keadilan hukum secara proposional. Aparatur penegak hukum terdiri dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipil lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya, meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi serta upaya pembinaan kembali terpidana. Ketika penegak hukum tidak lagi berjalan sesuai porsinya maka hak-hak warga negara akan terciderai, bahkan dapat menempatkan kasus dengan pasal out of the box dari sebagaimana mestinya (Diana, 2019).

        Mensiasati promatika diatas, penulis mencoba menawarkan solusi yakni dengan menerapkan konsep education, approach, dan guidance pada perempuan korban perkosaan yang akan melakukan aborsi sesuai dengan amanat UU Kesehatan. 
(1) Konsep Education, merupakan sebuah upaya degan mengadakan sebuah ruang diskusi publik yang dilaksanakan secara daring, mengingat dunia sedang dilanda pandemi covid-19. Tujuan utamanya untuk memberikan pendidikan kepada semua perempuan di Indonesia mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. Pembahasan ini akan mengarah pada sebuah kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang perempuan baik anak maupun dewasa. Selain itu, memberikan edukasi mengenai hak-hak perempuan korban perkosaan dari hak untuk mendapatkan bimbingan konseling, hak reproduksi, hak psikologisnya, hingga hak untuk melakukan aborsi secara legal. Hal ini sebagai realitas dasar dalam menghindari perbuatan otoritas penegak hukum yang mnegkriminalisasi korban perkosaan. 
(2) Konsep Approach, merupakan sebuah upaya lanjutan dari sebelumnya. Konsep ini menawarkan sebuah metode pendekatan non verbal berbasis media komunikasi modern melalui aplikasi chating. Konsep ini diperuntukkan bagi perempuan yang telah menjadi korban perkosaan. Latar belakang munculnya konsep ini karena sebagian besar korban perkosaan sulit untuk terbuka dalam menceritakan pengalaman buruknya, wajar sekali mengingat psikologisnya terguncang sehingga masih tersemat rasa malu dan takut untuk bercerita kepada siapa pun. Konsep ini akan dipopulerkan melalui konsep sebelumnya yang mengusung ruang diskusi publik. 
(3) Konsep Guidance, merupakan sebuah upaya perealisasian dari konsep sebelumnya. Konsep ini mengguankan metode pembimbingan bagi perempuan korban perkosaan yang melakukan pendekatan non verbal melalui aplikasi chating. Pembimbingan yang akan diberikan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan tentang Kesehatan bahwa perempuan tersebut berhak memperjuangkan haknya yang terlah tercantum dalam UU itu. Selanjutnya pembimbing akan melaporkan kasus tersebut kepada lembaga perlindunganperempuan dan anak agar si korban mendapatkan bimbingan lebih lanjut. Jadi, upaya ini merupakan langkah terakhir yang dapat dilakukan agar pengkriminalisasian terhadap korban perkosaan tidak terjadi kembali.



Penulis: Dinda Ayu Setyaningtyas

___________________________________

DAFTAR PUSTAKA

Diecy, A.V. 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi. Bandung: Nusamedia Afifah, W. 2013. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi. Jurnal Ilmu Hukum

Cendana, P. M. A. 2012. Pengecualian Larangan Aborsi Bagi Korban Perkosaan Sebagai Jaminan Hak-Hak Reproduksi. Jurnal Universitas Udayana.

Diana. 2019. Efektivitas Peranan Majelis Pengawas Daerah dalam Penegakan Kode Etik Notaris Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Studi Lapangan di Kota Batam). Jurnal undergraduate thesis: Universitas Internasional Batam.

Erowati, Eti Mul. 2018. Supremasi Hukum dalam Membangun Sistem Peradilan Berbasis Perlindungan Hukum dan Keadilan. Jurnal Proseding Senahis

Kania, Dede. 2015. Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang- Undangan di Indonesia. Jurnal Media Neliti

Manohara, I. B. M. P. 2018. Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Aborsi Menurut Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku ( KIitab Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Jurnal Hukum Volkgeist.

Nasution, Z. A. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Trafficking In Persons). Jurnal Universitas Diponegoro

Runtu, J. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Peradilan Pidana. Jurnal Lex Crimen

Kusumasari, Diana. 2011. Ancaman Pidana Terhadap Pelaku Aborsi Ilegal. Diakses melalui Hukum Online https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl840/penerapan-hukum-pidana-dalam-aborsi-ilegal/
Next Post Previous Post