Menyibak Urgensi RUU PKS
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah masuk dalam jajaran prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI periode tahun 2021.[1] RUU PKS merupakan sebuah kebijakan hukum yang dinilai dapat mengurangi jumlah kekerasan seksual dan sebagai payung hukum untuk perlindungan korban kekerasan seksual. Tidak bisa dipungkiri bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat pada setiap tahunnya. Meskipun kekerasan seksual tidak memandang gender tetapi pada kenyataannya perempuan dan anak-anak lah yang menjadi mangsa empuk dari perbuatan jahanam ini.[2]
Hal ini tercermin pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2020 tercatat 299.911 kasus. Kasus-kasus tercatat ini ditangani oleh 3 lembaga, yaitu antara lain: Pertama, Unit Pelayanan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan, kasus yang ditangani sebanyak 2.389 kasus, terbagi menjadi 2, yaitu Kasus berbasis gender berjumlah 2.134 kasus, dan kasus non gender (memberikan informasi saja) berjumlah 255 kasus. Kedua, Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan menangani 8.234 kasus. Dan yang Ketiga, Pengadilan Negeri/Agama menangani kasus sejumlah 291.677 kasus.[3] Berdasarkan data diatas kasus-kasus tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkup private tetapi juga dalam ranah publik.
Perlu diketahui bahwa bentuk kejahatan seksual sangat beragam tidak hanya sebatas Pencabulan dan Pemerkosaan saja, tetapi juga menghina, merendahkan dan menyerang tubuh orang lain terkait dengan hasrat seksual dan fungsi reproduksi secara paksa dan tanpa persetujuan kedua belah pihak serta menimbulkan kerugian bagi korban, maka hal tersebut dinamakan kejahatan seksual.[4] Dengan meningkatnya kasus kekerasan yang terjadi setiap tahunnya serta dampak-dampak yang ditimbulkan sangatlah merugikan korban. Untuk itu sudah sepantasnya RUU PKS ini segera disahkan. Karena pasal-pasal yang terkandung dalam RUU PKS sangatlah krusial. Berikut akan dipaparkan beberapa pasal krusial dalam RUU PKS.
Sangat beragamnya bentuk kejahatan seksual akan tetapi tidak ada perundang-undangan khusus (lex specialist)[5] yang mengaturnya, membuat penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual di negara ini dinilai lemah. Menurut Siti Aminah Tardi selaku Komisioner Komnas Perempuan, kekerasan seksual di dalam KUHP hanya mengatur tentang pencabulan dan pemerkosaan, sedangkan kekerasan seksual lain seperti perbudakan seksual, penyiksaan seksual dan pelecehan seksual non fisik tidak diatur didalamnya, sehingga sangat sulit bagi korban untuk mendapat keadilannya.[6] Selain tidak diatur, penyintas kekerasan seksual juga sulit mendapatkan pemulihan dan penanganan, karena instrumen hukum dalam KUHP tidak terkandung untuk mewajibkan pemerintah memberikan pemulihan bagi korban, lanjut Siti Aminah. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini dinilai lebih dapat memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi korban. Maka dari itu RUU PKS ini sangat krusial dan harus segera disahkan. Berikut 3 pasal diantaranya yang dinilai krusial dan menjadi urgensi disahkannya RUU PKS, antara lain sebagai berikut:[7]
Pertama, yaitu Pasal 12 ayat (1). Pasal ini menjelaskan definisi Pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a adalah “Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.” Pasal ini bermaksud sebagai payung hukum terhadap intimidasi yang terjadi akibat dari ketimpangan gender/relasi, karena merasa dirinya memiliki kekuasaan lebih dibandingkan orang lain sehingga membuat orang lain merasa tertekan dan tidak bisa memberikan persetujuan atau tindakan atas dirinya. Bisa diambil contoh, pada bulan Juni 2021 telah ramai diperbincangkan bahwa Gofar Hilman seorang conten creator dan penyiar radio diduga telah melakukan pelecehan seksual kepada seorang wanita bernama Nyelaras. Hal ini viral ketika Korban yaitu Nyelaras menuliskan atau membagikan kejadian yang menimpa dirinya ini pada salah satu akun sosial media miliknya. Awalnya korban membagikan ceritanya melalui Instagram, tetapi ia mendapatkan respon yang kurang baik. Kemudian Nyelaras mencoba menceritakan kronologis kejadian pelecehan yang menimpanya tersebut memalui Twitter pribadinya, dan tulisan tersebut pun viral. Berbagai tanggapan bermunculan dari yang pro sampai yang kontra terhadap korban, tetapi hampir mayoritas mendukung korban. Tulisan Nyelaras tersebut pun mendapat respon dari Gofar Hilman. Gofar menulis tanggapan di akun twitter pribadinya yang berisi kurang lebih ia merasa tidak pernah melakukan pelecehan tersebut, dan Gofar mengatakan jikalau ia akan menyelesaikan kasus ini melalui jalur hukum, karena ia merasa Nyelaras sudah mencemarkan nama baiknya.[8]
Kasus pelecahan seksual lemah di dalam hukum Indonesia, karena korban harus membuktikan bahwa kasus pelecehan tersebut benar-benar terjadi. Ketika kejadian berlangsung korban mengalami kelumpuhan sementara ketika ia mengalami pelecehan atau dikenal dengan tonic mobility. Dalam kondisi ini korban tidak dapat berbuat apa-apa, terdapat rasa ingin melawan tetapi tubuh menolak. Sehingga tidak mungkin korban memiliki bukti fisik seperti rekaman video, foto atau apa pun. Kecuali ada orang lain yang mendokumentasikannya. Dari kasus diatas dapat kita ambil penerapan dengan pasal ini, bahwa Pasal 12 ayat (1) RUU PKS merupakan sebuah payung hukum bagi korban yang megalami pelecehan dari orang yang merasa dirinya memiliki kekuasaan lebih dibandingkan orang lain sehingga membuat orang lain merasa tertekan, terintimidasi dan tidak bisa memberikan persetujuan atau tindakan atas dirinya.
Kedua, yaitu Pasal 15. Dijelaskan definisi Pemaksaan aborsi, yaitu “Kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.” Dalam Pasal ini terdapat frasa “pemaksaan” yang kemudian diasumsikan oleh orang bahwa RUU PKS melegalkan tindakan aborsi. Padahal tidak bisa diartikan secara mentah-mentah seperti itu, karena mengenai tindakan aborsi ini sudah diatur sebelumnya dalam KUHP dan UU Kesehatan.[9] Tepatnya dalam Pasal 346-349 KUHP yang isinya larangan untuk melakukan aborsi. Kemudian di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2006 tentang Kesehatan sebagai lex specialist yang mengatur tindakan aborsi.[10] Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan ini menjelaskan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan aborsi.”
Namun, menilik pada tahun 2018 silam, di Desa Pulau, Kecamatan Tembesi, Batanghari, Jambi telah terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh seorang remaja berinisial WA yang masih berusia 15 tahun.[11] Ia diperkosa oleh kakak laki-lakinya sendiri yang berinisial AA, dan WA menggugurkan kandungannya pada usia kandungan 6 bulan. WA divonis 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian dan kakaknya mendapat vonis 2 tahun penjara. WA yang posisinya sebagai korban mugkin bersalah akan tetapi jika ia tidak melakukan aborsi, mentalnya akan terguncang. Untuk itu perlu adanya pengecualian untuk membolehkan tindakan aborsi.
Di dalam Undang-Undang Kesehatan sebenarnya sudah dijelaskan yaitu Pasal 75 ayat (2) disebutkan Larangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 75 ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: (a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau (b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa RUU PKS tidak serta merta melegalkan aborsi. Karena berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Kesehatan yang menilik pada lex specialist derogate legi generalis (hukum khusus yang mengkesampingkan hukum umum) sudah diatur didalamnya. RUU PKS hanya memperkuat instrumen hukum yang ada mengenai tindakan aborsi.
Ketiga, yaitu Pasal 22 ayat (1) dan (2). Ayat (1) berbunyi: “Dalam pasal ini diatur mengenai hak-hak korban yaitu: (a) Hak atas Penanganan, (b) Hak atas Perlindungan dan (c) Hak atas Pemulihan.” Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa “Negara berkewajiban memenuhi hak-hak korban.” Di dalam pasal 22 ini dipaparkan mengenai hak-hak korban serta kewajiban negara untuk merealisasikan hak-hak tersebut. Ini menjadikan RUU PKS tidak hanya memberikan ancaman pidana bagi pelaku, akan tetapi juga memastikan korban mendapatkan hak-hak nya, yaitu hak penanganan, perlindungan serta pemulihan dari negara akibat tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh korban.
Tiga Pasal diatas merupakan beberapa pasal yang termasuk sebagai pasal krusial RUU PKS dan menjadi urgensi komprehensif untuk segera disahkannya RUU ini. RUU PKS memang bukan jalan satu-satunya untuk menekan tingkat kekerasan seksual di Indonesia, namun mengkesampingkan dan memperlambat pembahasan serta pengesahan RUU PKS ini hanya akan menyebabkan tidak terkendalinya tingkat kejahatan seksual di Indonesia dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena dinilai tidak tanggap dalam menekan dan menangani tindakan kejahatan seksual di negara ini.
Kekerasan seksual adalah perbuatan seksualitas yang dilakukan dengan cara memaksa tanpa persetujuan kedua belah pihak baik secara fisik maupun non fisik yang mengakibatkan kerugian bagi korban. Di Indonesia kasus kekerasan seksual semakin hari semakin memprihatinkan, karena bercermin pada data statistik kekerasan seksual yang dari tahun ke tahun semakin meningkat, akan tetapi keadilan bagi korban masih sulit didapatkan. Masalah ini salah satunya dilatar belakangi karena tidak adanya perundang-undangan khusus yang mengatur tentang kekerasan seksual. Peraturan yang terdapat dalam KUHP hanya mengatur tentang pencabulan dan pemerkosaan. Sedangkan kejahatan seksual mempunyai bentuk yang sangat beragam, sehingga penyelesaian kasus kejahatan seksual di Indonesia terbilang lemah.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini sangatlah penting untuk segera disahkan. Di dalam RUU PKS terkandung pasal-pasal yang lebih spesifik untuk menghukum pelaku, melindungi dan memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual. Dengan disahkannya RUU ini menjadi bukti nyata bahwa negara telah melaksanakan salah satu dari dasar negara Indonesia yaitu Pancasila sila ke 5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Arda Vida Sabella
___________________________
[1] Reno Efendi dkk, “Urgensi Percepatan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”, Jurnal Suara Hukum, Vol. 3 No.1, 2021, hal. 27
[2] Ismantoro Dwi Yuwono, S. H, “Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak”, Media Pressindo, Yogyakarta, 2018, hlm.88
[3] Komnas Perempuan, 2021, “CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci”, https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021 (diakses pada 3 Juli 2021 pukul 15.04 WIB)
[4] Reno Efendi dkk, “Urgensi Percepatan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”, Jurnal Suara Hukum, Vol. 3 No.1, 2021, hal. 28
[5] Soesilo, R, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, Politeia, Bogor, 2013, hlm.83
[6] Callista Wijaya, 2021, “RUU PKS masuk prolegnas, pengesahannya urgen karena ribuan penyintas tak bisa akses keadilan”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56310194 (diakses pada 6 Juli 2021 pukul 09.57 WIB)
[7] Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf (diakses pada 3 Juli 2021 pukul 19.03 WIB)
[8] Retia Kartika Dewi, 2021, “ Kronologi dan 7 Pesan Nyelaras, Perempuan yang diduga Korban Pelecehan Gofar Hilman”, https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/09/184500265/kronologi-dan-7-pesan-nyelaras-perempuan-yang-diduga-korban-pelecehan-gofar?page=all (diakses pada 7 Juli 2021 pukul 20.15 WIB)
[9] Adelia Rachma Indriaswari Susanto dkk, “Kajian Miskonsepsi RUU PKS dan Penundaan Pembahasan oleh DPR RI”, Kajian Hukum (9), 2020, hlm. 15
[10] Undang-Undang Kesehatan Pasal 75 No.36 Tahun 2006 tentang Aborsi
[11] Eza Mazrieva, 2018, “Vonis Korban Perkosaan yang Gugurkan Kandungan di Jambi, Dikritik Tajam” https://www.voaindonesia.com/a/vonis-korban-perkosaan-yang-gugurkan-kandungan-di-jambi-dikritik-tajam/4493385.html (diakses pada 7 Juli 2021 pukul 14.38 WIB)
__________________________________________
Daftar Pustaka
Ismantoro Dwi Yuwono, S. H. (2018). Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soesilo, R. (2013). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
Alfianita Atiq Junaelis Subarkah, Faiq Tobroni. (2020). Urgensi Pengesahan RUU PKS Terhadap Instrumen Penegakan Hak Asasi Perempuan. Jurnal Supremasi Hukum. 9(2): 108
Reno Efendi. (2021). Urgensi Percepatan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jurnal Suara Hukum. 3(1): 27-28
Adelia Rachma Indriaswari Susanto dkk. (2020). Kajian Miskonsepsi RUU PKS dan Penundaan Pembahasan oleh DPR RI. Kajian Hukum 9
Komnas Perempuan. (2021). CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci. Internet. (diakses 2021 Juli 3). Tersedia pada: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Internet. (diakses 2021 Juli 3). Tersedia pada: https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf
Rian Firmansyah. (2020). Ahli Hukum Pidana : RUU PKS adalah Hukum Pidana Lengkap untuk Menekan Kekerasan Seksual. Internet. (diakses 2021 Juli 3). Tersedia pada: https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-13583701/ahli-hukum-pidana-ruu-pks-adalah-hukum-pidana-lengkap-untuk-menekan-kekerasan-seksual
Callista Wijaya. (2021). RUU PKS masuk prolegnas, pengesahannya urgen karena ribuan penyintas tak bisa akses keadilan. Internet. (diakses 2021 Juli 6). Tersedia pada: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56310194
Eza Mazrieva. (2018). Vonis Korban Perkosaan yang Gugurkan Kandungan di Jambi, Dikritik Tajam. Internet. (diakses pada 2021 Juli 7). Tersedia pada: https://www.voaindonesia.com/a/vonis-korban-perkosaan-yang-gugurkan-kandungan-di-jambi-dikritik-tajam/4493385.html
Retia Kartika Dewi. (2021). Kronologi dan 7 Pesan Nyelaras, Perempuan yang diduga Korban Pelecehan Gofar Hilman. Internet. (diakses pada 2021 Juli 7). Tersedia pada: https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/09/184500265/kronologi-dan-7-pesan-nyelaras-perempuan-yang-diduga-korban-pelecehan-gofar?page=all