Revisi Kedua Undang-undang ITE Sebagai Solusi Surutnya Spirit Demokrasi
Kebebasan Bersuara (Fredom of Speech) sudah sepatutnya menjadi hak bagi setiap warga di negara demokrasi ini. Kebebasan bersuara merupakan sebuah bentuk kebebasan untuk mencari, mendapatkan serta menyebarkan gagasan baik tulisan maupun verbal. Seiring kemajuan zaman, bersuara atau berpendapat tidak hanya dilakukan dengan saling bertatap muka secara langsung, akan tetapi berpendapat bisa dilakukan melalui sebuah media. Media tersebut dinamakan media sosial. Media sosial merupakan sebuah platform digital yang membawa kemajuan baru dalam berkomunikasi yang mana kita bisa berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai negara hanya dengan melalui gawai, asalkan memiliki akses jaringan internet semua bisa dijangkau.
Penggunaan media sosial sangatlah besar dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan data yang dirangkum dari situs Info Komputer, bahwa dari jumlah penduduk di Indonesia yang mencapai 274,9 juta jiwa, 170 juta jiwa diantaranya merupakan pengguna aktif media sosial.[1] Melihat data tersebut, maka pengguna media sosial di Indonesia setara 61,8 % dari total penduduk pada Januari 2021. Menurut data yang dirangkum oleh We are School, penduduk Indonesia rata-rata menghabiskan 8 jam 52 menit sehari untuk mengakses internet.[2] Hal ini menunjukan bahwa konsumsi terhadap media digital sangatlah besar pada warga Indonesia.
Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi tersebut tentunya sangat berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat, yang mana kebebasan bersuara menjadi dilindungi dan dikontrol oleh konstitusi.[3] Banyaknya jumlah penduduk yang mengakses media sosial untuk salah satunya menyalurkan gagasan atau pendapatnya, ternyata menimbulkan perbedaan perspektif dalam masyarakat. Antar masyarakat timbul perbedaan persepsi mengenai pengutaraan hak untuk berpendapat di media sosial.[4] Perbedaan tersebut yang kemudian mengakibatkan terjadinya konflik. Hak kebebasan berpendapat atau berekspresi inilah yang kemudian sering terjadi benturan dengan Hak individu yang harus dihormati. Padahal kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu Hak Asasi Manusia yang menjadi penyanggah jalannya sistem demokrasi negara.
Masifnya penggunaan media sosial oleh masyarakat di Indonesia yang semakin diperparah dengan munculnya konflik dalam bermedia sosial pada masyarakat, mendorong pembentukan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-Undang ini dikeluarkan pada 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebagai payung hukum warga negara ketika mengeluarkan pendapat dan berekspresi.[5] Tetapi sangat disayangkan UU ITE ini justru berisi beberapa pasal karet yang dinilai multitafsir dan digunakan untuk mengancam kebebasan berekspresi masyarakat. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kasus pelaporan kepada pihak yang berwajib dengan landasan melanggar UU ITE. Dan yang lebih memprihatinkan adalah dalam tindakan pengawasan aparatur negara yang diharapkan dapat menjaga dan mentertibkan masyarakat dalam ruang digital, justru bertindak sewenang-wenang dan terkesan memojokkan masyarakat, sehingga menekan emansipasi dari masyarakat yang seharusnya aparat negara dapat membuat citra pemerintahan yang baik. Untuk itu perlu dipertanyakan implementasi dari UU ITE ini sudah tepatkah terhadap tujuan awal dikeluarkannya Undang-Undang ini atau telah terjadi penyimpangan dalam implementasinya? Revisi terhadap UU ITE ini pun menjadi suatu hal yang krusial diinginkan masyarakat.
Merevisi Undang-Undang ITE merupakan kewenangan dari pembuat Undang-Undang. Presiden Jokowi angkat bicara dan berencana untuk melakukan revisi terhadap UU ITE. Hal ini diungkapkannya pada 15 Februari 2021 dalam rapat pimpinan bersama TNI-Polri, Presiden mengemukakan bahwa apabila dalam implementasi UU ITE menimbulkan ketidakadilan, maka UU ITE direvisi menjadi hal yang sangat mungkin, serta penghapusan pasal karet yang dinilai multi tafsir pun dapat dilakukan.[6] Sebenarnya pada 26 Oktober 2016 silam DPR bersama Kominfo telah resmi merevisi UU ITE dan telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 25 November 2016. Tetapi pasca dilakukannya revisi UU ITE ini dinilai belum sepenuhnya mampu dalam menjaga dan mengontrol kegiatan dalam ruang digital, karena masih terdapat pasal yang sesungguhnya menimbulkan kontroversi tetapi tetap dipertahankan.[7] Sehingga para ahli berpendapat revisi ini tidak menampakkan perubahan yang mendalam dan justru melahirkan masalah-masalah baru.
Terjadi peningkatan kasus pidana masyarakat yang beredar di seluruh negeri ini dengan bentuk pelanggaran Undang-Undang ITE. Berdasarkan Data Safenet jumlah kasus pidana warga yang terjerat UU ITE pada Oktober 2020 mencapai 324 kasus.[8] Berikut rinciannya adalah sebanyak 209 orang dilaporkan atas pelanggaran Pasal 27 ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik, 76 orang terjerat Pasal 28 ayat 3 tentang Ujaran Kebencian dan 172 kasus dilaporkan berdasarkan unggahannya di media sosial. Berikut beberapa kasus masyarakat yang dipidanakan karena diduga melanggar Undang-Undang ITE:[9]
Pertama, yaitu Prita Mulyasari. Pada 15 Agustus 2008, Prita mengirimkan pesan melalui e-mail berisi keluhan dirinya dan teman-temannya terkait pelayanan di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Saat itu, isi e-mail yang dikirimkan oleh Prita tersebut secara tak sengaja tersebar ke sejumlah mailing list di dunia maya. Mengetahui informasi tersebut, pihak RS Omni pun mengambil langkah hukum. Prita dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akibatnya, Prita mendapat ancaman hukuman penjara selama enam tahun. Namun, Pengadilan Negeri (PN) Tangerang sempat memvonis bebas Prita, sebelum Majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) mengganjarnya dengan pidana 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Empat tahun berselang, akhirnya Prita dibebaskan setelah Peninjauan Kembali (PK) terhadap kasusnya yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada 17 September 2012 silam.
Kedua, yaitu Ervani Handayani. Ervani harus berurusan dengan hukum akibat "curhat" di Facebook soal mutasi kerja yang dialami oleh suaminya pada 30 Mei 2014. Ia membuat status Facebook yang dianggap mencemarkan nama baik bos suaminya. Setelah mengetahui isi curhatan tersebut, Ayas yang namanya disebutkan itu melaporkan unggahan Ervani ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Jaksa penuntut umum menjerat Ervani dengan pasal berlapis. Pertama Pasal 45 ayat 1, Pasal 27 ayat 3 UU RI No 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan pasal 310 ayat 1 KUHP tentang pencemaran nama baik.
Ketiga, yaitu Baiq Nuril Maknun. Nuril merupakan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Nasib yang dialami Nuril berawal pada tahun 2012 silam. Suatu hari, ia menerima telepon dari Kepala Sekolah berinisial M. Dalam perbincangan itu, M menceritakan tentang perbuatan asusila yang dilakukan dirinya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut. Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat M geram. Nuril kemudian dilaporkan ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut. Pada 26 September 2018, Mahkamah Agung lewat putusan kasasi menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis hukuman itu diberikan karena hakim menilai, Nuril melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU ITE. Namun, pada 29 Juli 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun. Dengan terbitnya amnesti ini, maka Nuril yang sebelumnya divonis Mahkamah Agung (MA) melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum.
Dengan berkaca dari kasus-kasus tersebut maka bisa kita lihat bahwa sistem demokrasi pada masyarakat Indonesia telah mengalami kemunduran. Prof. Jimly Ashiddiqie seorang Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengatakan sistem demokrasi telah mengalami kemunduran tidak hanya pada negara Indonesia tetapi juga negara-negara lain.[10]Terdapat indikasi yang mempengaruhi kemunduran demokrasi. Indikasi tersebut antara lain, munculnya rasisme, diskriminasi politik atas dasar SARA, dan kekerasan keagamaan. Berkembangnya pelaksanaan demokrasi tanpa pergantian kekuasaan dan terjadinya benturan antara kepentingan politik dan bisnis pun menjadi salah satu faktornya. Jimly Ashiddiqie juga menambahkan semakin banyakya buzzer serta keberadaan pejabat negara dalam bermedia sosial yang belum mampu membedakan antara lingkup privat dan lingkup jabatan menguatkan argumennya terhadap kemunduran demokrasi di negara ini. Berbagai kendala tersebut yang menjadi faktor masyarakat sulit untuk berekspresi dan menyuarakan pendapatnya, karena takut terjerat Undang-Undang ITE, sehingga berdampak pada kemunduran sistem demokrasi di Indonesia.[11]
Melihat hal tersebut, bisa kita telaah bahwa Revisi pada tahun 2016 silam ternyata belum mampu menyelesaikan segala permasalahan dunia siber dan justru dinilai hanya tambal sulam dan belum mencakup substansi mendalam pada dunia digital. Walaupun kebijakan pemerintah patut diberikan applaus, tetapi tidak bisa dielakan bahwa perubahan tersebut belum sesuai dengan harapan. Sehingga revisi kembali terhadap Undang-Undang ini pun masih terus digaungkan karena banyak mendapat kontroversi dan kritikan.
Beberapa pasal yang dinilai berkemungkinan besar menjadi pasal karet dalam Undang-Undang ITE antara lain yaitu:[12] Pertama, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Kedua, Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Dan Ketiga, Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Pasal-pasal ini dianggap pasal karet karena menimbulkan multitafsir dan membatasi masyarakat dalam memberikan masukan dan kritikan kepada antar masyarakat dan juga pemerintahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebebasan bersuara merupakan sebuah bentuk hak asasi manusia yang wajib diberikan. Media sosial menjadi sebuah platform digital yang digunakan untuk menyalurkan sebuah gagasan atau pendapat oleh sebagian besar masyarakat Indonesia pada era globalisasi ini. Dengan keadaan ini, pemerintah pun melindungi dan mengontrol kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat dalam konstitusi. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tetapi sayangnya UU ITE ini justru berisi beberapa pasal karet yang dinilai multitafsir dan digunakan pemerintah untuk mengancam kebebasan berekspresi masyarakat.
Revisi Undang-Undang ITE yang dilakukan pada 2016 lalu tidak memenuhi substansi mendasar dan justru masih mendapat kritikan dari berbagai pihak. Kasus pidana masyarakat yang terjerat Undang-Undang ITE meningkat, menyebabkan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Revisi Undang-Undang ITE dinilai belum mencapai perubahan spesifik, karena belum mampu menyelesaikan permasalahan dalam dunia digital. Untuk itu sudah seyogyanya dilaksanakan revisi kembali terhadap UU ITE ini, serta kelak dalam implementasinya semoga benar-benar direalisasikan untuk menjaga dan mengontrol aktivitas dalam media sosial, tanpa membungkam kebebasan berpendapat masyarakat tetapi juga tetap memperhatikan hak untuk saling menghormati antar individu.
Penulis: Arda Vida Sabella
___________________________________________
[1] Adam Rizal, 2021, “Rata-rata Orang Indonesia Habiskan 3 Jam untuk Main Media Sosial”, https://infokomputer.grid.id/read/122572616/rata-rata-orang-indonesia-habiskan-3-jam-untuk-main-media-sosial (diakses pada 22 Juli 2021 pukul 08.13 WIB)
[2] Rahkasiwi Dimas Susanto, Irwansyah, “Media Sosial Demokrasi dan Penyampaian Pendapat Politik Milenial di Era Pasca-Reformasi”, Jurnal Lontar, Vol. 9, No. 1, 2021, hlm. 72
[3] Fadilah Raskasih, “Batasan Kebebasan Berpendapat Melalui Media Elektronik Dalam Perspektif HAM Dikaitkan Dengan Tindak Pidana Menurut UU ITE”, Jurnal Hukum, 2021, hlm. 3
[4] Paskalis Marvin, 2018, “Pembatasan Kebebasan Berpendapat dalam Media Sosial di Indonesia” www.academia.edu (diakses pada 22 Juli 2021pukul 19.25 WIB)
[5] Danrivanto Budhijanto., 2017, “Revolusi Cyberlaw Indonesia: Pembaruan dan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016”, Bandung: Refika Aditama, hlm. 72
[6] Bemkm, 2021, “Wacana Revisi UU ITE Untuk Keadilan Masyarakat”, https://bemkm.untidar.ac.id/2021/03/04/wacana-revisi-uu-ite-untuk-keadilan-masyarakat (diakses pada 23 Juli 2021 pukul 18.12 WIB)
[7] Faisal Jamal, Skripsi, “Kebebasan Berpendapat di Media Sosial Dalam Perspektif Asas Cogitationis Poenam Nemo Patitur (Analisis Pasal 27 Ayat 3 UU ITE)”, (Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2020), hlm. 59
[8] Damar Juniarto, 2021, “Revisi UU ITE Total Sebagai Solusi” https://id.safenet.or.id/2021/03/revisi-uu-ite-total-sebagai-solusi (diakses pada 23 Juli 2021 pukul 16.45 WIB)
[9] Conney Stephanie, 2021, “6 Korban yang Dijerat Pasal Karet UU ITE”, https://tekno.kompas.com/read/2021/02/16/15030007/6-korban-yang-dijerat-pasal-karet-uu-ite?page=all#page2 (diakses pada 23 Juli 2021 pukul 17.05 WIB)
[10] Evi Ardianti, Skripsi: “Pemikiran Jimly Asshidiqie Tentang Demokrasi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah”, (Lampung: UIN Raden Intan Lampung, 2017), hlm.67
[11] Rofiq Hidayat, 2021, “Revisi UU ITE Cara Menjaga Keberlangsungan Demokrasi”, https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt6094f6e7e661a/revisi-uu-ite-cara-menjaga-keberlangsungan-demokrasi/?page=all (diakses pada 23 Juli 2021 pukul 17.15 WIB)
[12] Ibid
__________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Danrivanto Budhijanto. (2017). Revolusi Cyberlaw Indonesia: Pembaruan dan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 2016. Bandung: Refika Aditama
Evi Ardianti. (2017). Pemikiran Jimly Asshidiqie Tentang Demokrasi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah. Skripsi. Lampung: UIN Raden Intan Lampung
Faisal Jamal. (2020). Kebebasan Berpendapat di Media Sosial Dalam Perspektif Asas Cogitationis Poenam Nemo Patitur (Analisis Pasal 27 Ayat 3 UU ITE). Skripsi. Makassar: UIN Alauddin Makassar
Fadilah Raskasih. (2021). Batasan Kebebasan Berpendapat Melalui Media Elektronik Dalam Perspektif HAM Dikaitkan Dengan Tindak Pidana Menurut UU ITE. Jurnal Hukum. 3
Rahkasiwi Dimas Susanto, Irwansyah. (2021). Media Sosial Demokrasi dan Penyampaian Pendapat Politik Milenial di Era Pasca-Reformasi. Jurnal Lontar. 9(1): 72
Adam Rizal. (2021). Rata-rata Orang Indonesia Habiskan 3 Jam untuk Main Media Sosial. Internet. (diakses pada 2021 Juli 22). Tersedia pada: https://infokomputer.grid.id/read/122572616/rata-rata-orang-indonesia-habiskan-3-jam-untuk-main-media-sosial
Paskalis Marvin. (2018). Pembatasan Kebebasan Berpendapat dalam Media Sosial di Indonesia. Internet. (diakses pada 2021 Juli 22). Tersedia pada: www.academia.edu
Damar Juniarto. (2021). Revisi UU ITE Total Sebagai Solusi. Internet. (diakses pada 2021 Juli 23). Tersedia pada:https://id.safenet.or.id/2021/03/revisi-uu-ite-total-sebagai-solusi
Conney Stephanie. (2021). 6 Korban yang Dijerat Pasal Karet UU ITE. (diakses pada 2021 Juli 23). Tersedia pada: https://tekno.kompas.com/read/2021/02/16/15030007/6-korban-yang-dijerat-pasal-karet-uu-ite?page=all#page2
Rofiq Hidayat. (2021). Revisi UU ITE Cara Menjaga Keberlangsungan Demokrasi. Internet. (diakses pada 2021 Juli 23). Tersedia pada: https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt6094f6e7e661a/revisi-uu-ite-cara-menjaga-keberlangsungan-demokrasi/?page=all
Bemkm. (2021). Wacana Revisi UU ITE Untuk Keadilan Masyarakat. Internet. (diakses pada 2021 Juli 23). Tersedia pada: https://bemkm.untidar.ac.id/2021/03/04/wacana-revisi-uu-ite-untuk-keadilan-masyarakat